PRO KONTRA ZAKAT HARTA
Zakat adalah rukun Islam ke tiga. Orang yang telah memenuhi syarat untuk menunaikan zakat, namun enggan menunaikannya, dia telah memberikan sumbangan buruk demi robohnya Islam. Sangat ironis, karena sumbangan buruk yang dia berikan hanya karena dorongan sikap materialistik dan cinta harta. Dia lalai bahwa sejumlah saudaranya seiman ditaqdirkan oleh Allah SWT menjadi ujian baginya karena mereka fakir dan miskin. Mereka memiliki hak atas harta yang dititipkan oleh Allah SWT kepadanya.
Segala sesuatu, jika berlebihan selalu cenderung mengarah kepada terjadinya keadaan yang tidak diharapkan. Cinta kepada apapun, jika berlebihan, akan menimbulkan ketidak-seimbangan dan keburukan. Cinta kepada pasangan, anak-cucu, harta-benda dan lain sebagainya, jika berlebihan, akan menimbulkan keburukan. Kecuali satu macam cinta yang mendasari semua cinta sehingga semuanya menjadi baik, yaitu cinta kepada Allah SWT. Ingatlah ungkapan Imam Asy-Syafi’i yang artinya,
Cintailah kekasihmu sekedarnya, kiranya dia menjadi musuhmu nantinya,
Bencilah musuhmu sekedarnya, kiranya dia menjadi kekasihmu nantinya.
Cinta harta, jika berlebihan karena kenikmatan duniawinya yang muncul dari harta dan telah dirasakan, akan mendorong seseorang enggan mengabadikan hartanya di sisi Allah SWT. Karena telah tertutup kesadarannya oleh kenikmatan duniawi yang muncul dari harta. Seseorang menjadi orang yang enggan membayar zakat atau mengeluarkan shadaqah. Dengan demikian, sumbangan yang dia berikan kepada Islam adalah sebuah potensi yang merobohkannya dan ketidak-pedulian kepada muslim lain yang melakukan hal yang sama. Lebih dari itu, bisa jadi tidak peduli akan hak-hak harta dan hak-hak kaum muslimin yang masuk kategori dhu’afa.
Zakat, telah menjadi konsensus (ijma’) kaum muslimin, wajib hukumnya. Khususnya zakat fitrah dan zakat harta yang macamnya telah disebutkan dalam kitab-kitab fikih klasik (turats). Allah SWT banyak menyebutkan di dalam Al Qur’an bahwa zakat wajib hukumnya. Bahkan dalam sebuah ayat, Allah SWT menyebutkan sangat tegas, karena diawali dengan kata perintah, ‘ambillah !’ yang mengindikasikan kepada hukum wajib. Allah SWT berfirman,
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. (Qs. At-Taubah (9) : 103).
Atas dasar inilah, Abu Bakar RA di awal masa kekhalifahannya memerangi kaum muslimin yang enggan membayar zakat.
Harta, mutlak milik Allah SWT, sehingga jika Dia menghendaki musnahnya, tak satupun makhluk, baik dia manusia seluruhnya atau lainnya, untuk mencegahnya. Oleh sebab itu sangat tidak sopan dan terlalu lancang kepada Allah SWT jika diperintah mengeluarkan zakatnya, lalu enggam melakukannya. Mengeluarkan zakat adalah menafkahkan harta di jalan Allah SWT dan Allah SWT tentu akan memberikan balasannya, berupa kebaikan di akhirat. Apakah orang-orang yang enggan membayar zakat itu sudah rusak Islamnya ? Karena dengan keengganannya membayar zakat, dia telah merobohkan dua pilar Islam sekaligus : Tidak membayar zakat dan tidak percaya kepada adanya hari akhir di mana pahala zakat dan lain-lain akan diberikan. Karena dengan tidak mau membayar zakat, dia tidak mengharapkan pahala Allah SWT yang diberikan pada hari akhir kelak.
ZAKAT PROFESI
Zakat profesi, sebuah zakat yang masih sering menjadi perdebatan antara mereka yang pro dengan mereka yang kontra. Mereka yang kontra berdalih bahwa zakat profesi tidak dilakukan di zaman Rasulullah SAW. Ada pula yang mengatakan bahwa kiyas yang dilakukan di dalam menetapkan hukum zakat profesi termasuk kiyas yang batal, karena mengiyaskan suatu asal (ashl) kepada suatu cabang (far’) yang berbeda.
Sedangkan mereka yang pro zakat profesi, mendasarkan pikiran mereka kepada sejumlah ayat Al Qur’an, logika kepatutan dan fikih bahasa Al Qur’an.
Allah SWT di dalam sejumlah ayat berfirman,
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka…..(Qs. At-Taubah (9) : 103).
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (Adz-Dzariyat (51) : 19)
Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta). (Al Ma’arij (70) : 24-25)
Di dalam harta, apa saja jenis harta itu, terdapat hak orang lain yang sangat membutuhkannya. Hak adalah sesuatu yang boleh dituntut oleh yang berhak tersebut agar diberikan kepadanya. Bagi orang fakir dan miskin, sebagian harta yang harus dikeluarkan pemilik harta adalah hak yang bisa mereka tuntut, sedangkan bagi pemilik harta adalah kewajiban yang wajib ia tunaikan. Karena itulah, mengeluarkan sebagian harta wajib hukumnya setelah memenuhi syarat-syarat tertentu sesuai dengan bimbingan tehnis dari Rasulullah SAW sebagai zakat.
Allah SWT di dalam Al Qur’an menggunakan kata ‘amwaal’ artinya harta (dalam bentuk jamak) yang mengindikasikan kepada harta secara umum. Sehingga harta yang dihasilkan melalui sebuah profesi tertentu, wajib pula dikeluarkan zakatnya. Allah SWT berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu….. (Qs. Al Baqarah (2) : 267).
Dengan memahami bahasa ayat di atas, maka seseorang akan mengerti bahwa, menafkahkan harta di jalan Allah, yang didapatkan dari hasil usaha, termasuk profesi, telah diperintahkan oleh Allah SWT sehingga wajib hukumnya. Infaq yang wajib hukumnya adalah zakat selain infaq kepada keluarga dan binatang piaraan. Dengan demikian jelas, bahwa zakat profesi wajib hukumnya. Demikian juga zakat hasil pertanian, sebagaimana disebutkan oleh ayat yang sama.
Jika zakat hasil pertanian dan perkebunan mencapai lima atau sepuluh persen, padahal mengupayakannya lebih berat dan lebih sulit, lalu bagaimana jika seseorang berpenghasilan puluhan juta rupiah dalam sebulan tidak mengeluarkan zakatnya sepeserpun ? Bahkan ada seorang muslim, karena bertani tabu, sekalipun sekali panen menghasilkan ratusan juta rupiah, dia enggan membayar zakat. Alasannya, karena yang dia tanam bukan bahan makanan pokok. Al Hasil, petani padi dengan penghasilan senilai Rp 2.600.000,- selama empat bulan sebanyak dua kali setahun telah wajib mengeluarkan zakat senilai Rp 130.000,- sementara seorang profesional muda dengan penghasilan Rp 120.000.000,- tiap bulan tidak wajib mengeluarkan zakat. Petani tebu dengan penghasilan ratusan juta rupiah tidak wajib zakat. Menurut logika, jelas tidak adil, apalagi menurut firman Allah SWT di atas.
Kalau demikian, maka ayo lebih peduli kepada sesama muslim yang dhu’afa dan peduli serta sadar membayar zakat. Para muzakki akan bahagia karena menolong sesama muslim dan karena pahala Allah SWT yang dicurahkan kepada mereka. Para mustahik bahagia karena Allah SWT telah menggerakkan hati para muzakki sehingga sadar membayar zakat, bahkan berinfaq di jalan Allah yang sering lebih besar nilainya daripada nilai zakat yang dikeluarkannya. Semoga.
*****
Zakat adalah rukun Islam ke tiga. Orang yang telah memenuhi syarat untuk menunaikan zakat, namun enggan menunaikannya, dia telah memberikan sumbangan buruk demi robohnya Islam. Sangat ironis, karena sumbangan buruk yang dia berikan hanya karena dorongan sikap materialistik dan cinta harta. Dia lalai bahwa sejumlah saudaranya seiman ditaqdirkan oleh Allah SWT menjadi ujian baginya karena mereka fakir dan miskin. Mereka memiliki hak atas harta yang dititipkan oleh Allah SWT kepadanya.
Segala sesuatu, jika berlebihan selalu cenderung mengarah kepada terjadinya keadaan yang tidak diharapkan. Cinta kepada apapun, jika berlebihan, akan menimbulkan ketidak-seimbangan dan keburukan. Cinta kepada pasangan, anak-cucu, harta-benda dan lain sebagainya, jika berlebihan, akan menimbulkan keburukan. Kecuali satu macam cinta yang mendasari semua cinta sehingga semuanya menjadi baik, yaitu cinta kepada Allah SWT. Ingatlah ungkapan Imam Asy-Syafi’i yang artinya,
Cintailah kekasihmu sekedarnya, kiranya dia menjadi musuhmu nantinya,
Bencilah musuhmu sekedarnya, kiranya dia menjadi kekasihmu nantinya.
Cinta harta, jika berlebihan karena kenikmatan duniawinya yang muncul dari harta dan telah dirasakan, akan mendorong seseorang enggan mengabadikan hartanya di sisi Allah SWT. Karena telah tertutup kesadarannya oleh kenikmatan duniawi yang muncul dari harta. Seseorang menjadi orang yang enggan membayar zakat atau mengeluarkan shadaqah. Dengan demikian, sumbangan yang dia berikan kepada Islam adalah sebuah potensi yang merobohkannya dan ketidak-pedulian kepada muslim lain yang melakukan hal yang sama. Lebih dari itu, bisa jadi tidak peduli akan hak-hak harta dan hak-hak kaum muslimin yang masuk kategori dhu’afa.
Zakat, telah menjadi konsensus (ijma’) kaum muslimin, wajib hukumnya. Khususnya zakat fitrah dan zakat harta yang macamnya telah disebutkan dalam kitab-kitab fikih klasik (turats). Allah SWT banyak menyebutkan di dalam Al Qur’an bahwa zakat wajib hukumnya. Bahkan dalam sebuah ayat, Allah SWT menyebutkan sangat tegas, karena diawali dengan kata perintah, ‘ambillah !’ yang mengindikasikan kepada hukum wajib. Allah SWT berfirman,
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. (Qs. At-Taubah (9) : 103).
Atas dasar inilah, Abu Bakar RA di awal masa kekhalifahannya memerangi kaum muslimin yang enggan membayar zakat.
Harta, mutlak milik Allah SWT, sehingga jika Dia menghendaki musnahnya, tak satupun makhluk, baik dia manusia seluruhnya atau lainnya, untuk mencegahnya. Oleh sebab itu sangat tidak sopan dan terlalu lancang kepada Allah SWT jika diperintah mengeluarkan zakatnya, lalu enggam melakukannya. Mengeluarkan zakat adalah menafkahkan harta di jalan Allah SWT dan Allah SWT tentu akan memberikan balasannya, berupa kebaikan di akhirat. Apakah orang-orang yang enggan membayar zakat itu sudah rusak Islamnya ? Karena dengan keengganannya membayar zakat, dia telah merobohkan dua pilar Islam sekaligus : Tidak membayar zakat dan tidak percaya kepada adanya hari akhir di mana pahala zakat dan lain-lain akan diberikan. Karena dengan tidak mau membayar zakat, dia tidak mengharapkan pahala Allah SWT yang diberikan pada hari akhir kelak.
ZAKAT PROFESI
Zakat profesi, sebuah zakat yang masih sering menjadi perdebatan antara mereka yang pro dengan mereka yang kontra. Mereka yang kontra berdalih bahwa zakat profesi tidak dilakukan di zaman Rasulullah SAW. Ada pula yang mengatakan bahwa kiyas yang dilakukan di dalam menetapkan hukum zakat profesi termasuk kiyas yang batal, karena mengiyaskan suatu asal (ashl) kepada suatu cabang (far’) yang berbeda.
Sedangkan mereka yang pro zakat profesi, mendasarkan pikiran mereka kepada sejumlah ayat Al Qur’an, logika kepatutan dan fikih bahasa Al Qur’an.
Allah SWT di dalam sejumlah ayat berfirman,
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka…..(Qs. At-Taubah (9) : 103).
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (Adz-Dzariyat (51) : 19)
Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta). (Al Ma’arij (70) : 24-25)
Di dalam harta, apa saja jenis harta itu, terdapat hak orang lain yang sangat membutuhkannya. Hak adalah sesuatu yang boleh dituntut oleh yang berhak tersebut agar diberikan kepadanya. Bagi orang fakir dan miskin, sebagian harta yang harus dikeluarkan pemilik harta adalah hak yang bisa mereka tuntut, sedangkan bagi pemilik harta adalah kewajiban yang wajib ia tunaikan. Karena itulah, mengeluarkan sebagian harta wajib hukumnya setelah memenuhi syarat-syarat tertentu sesuai dengan bimbingan tehnis dari Rasulullah SAW sebagai zakat.
Allah SWT di dalam Al Qur’an menggunakan kata ‘amwaal’ artinya harta (dalam bentuk jamak) yang mengindikasikan kepada harta secara umum. Sehingga harta yang dihasilkan melalui sebuah profesi tertentu, wajib pula dikeluarkan zakatnya. Allah SWT berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu….. (Qs. Al Baqarah (2) : 267).
Dengan memahami bahasa ayat di atas, maka seseorang akan mengerti bahwa, menafkahkan harta di jalan Allah, yang didapatkan dari hasil usaha, termasuk profesi, telah diperintahkan oleh Allah SWT sehingga wajib hukumnya. Infaq yang wajib hukumnya adalah zakat selain infaq kepada keluarga dan binatang piaraan. Dengan demikian jelas, bahwa zakat profesi wajib hukumnya. Demikian juga zakat hasil pertanian, sebagaimana disebutkan oleh ayat yang sama.
Jika zakat hasil pertanian dan perkebunan mencapai lima atau sepuluh persen, padahal mengupayakannya lebih berat dan lebih sulit, lalu bagaimana jika seseorang berpenghasilan puluhan juta rupiah dalam sebulan tidak mengeluarkan zakatnya sepeserpun ? Bahkan ada seorang muslim, karena bertani tabu, sekalipun sekali panen menghasilkan ratusan juta rupiah, dia enggan membayar zakat. Alasannya, karena yang dia tanam bukan bahan makanan pokok. Al Hasil, petani padi dengan penghasilan senilai Rp 2.600.000,- selama empat bulan sebanyak dua kali setahun telah wajib mengeluarkan zakat senilai Rp 130.000,- sementara seorang profesional muda dengan penghasilan Rp 120.000.000,- tiap bulan tidak wajib mengeluarkan zakat. Petani tebu dengan penghasilan ratusan juta rupiah tidak wajib zakat. Menurut logika, jelas tidak adil, apalagi menurut firman Allah SWT di atas.
Kalau demikian, maka ayo lebih peduli kepada sesama muslim yang dhu’afa dan peduli serta sadar membayar zakat. Para muzakki akan bahagia karena menolong sesama muslim dan karena pahala Allah SWT yang dicurahkan kepada mereka. Para mustahik bahagia karena Allah SWT telah menggerakkan hati para muzakki sehingga sadar membayar zakat, bahkan berinfaq di jalan Allah yang sering lebih besar nilainya daripada nilai zakat yang dikeluarkannya. Semoga.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar