FIQIH HARTA
MUKADIMAH :
Harta, adalah sesuatu yang menjadi idaman setiap orang. Karena dengan harta orang nyaris bisa melakukan apa saja yang dia kehendaki, sedangkan tanpa harta, berbagai permasalahan akan muncul. Baik berkaitan dengan kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, rekreasi, pendidikan, bahkan keagamaan.
Ada memang, orang miskin tetapi bisa menunaikan ibadah haji, tapi faktor keberuntunganlah yang menjadi penyebab utamanya atau karena memang dia sedang mukim di kerajaan Saudi Arabia. Ada pula orang miskin yang lebih bugar dan tinggi ketahanan tubuhnya, tapi karena terlatih bekerja berat yang menyebabkannya demikian sehat. Namun bisa dibayangkan jika seorang miskin jatuh sakit, akan lebih sulit baginya untuk mendapatkan akses ke dalam pelayanan kesehatan yang baik.
Harta dalam bahasa Arab disebut maal (bentuk tunggal) atau amwaal (bentuk jamak) atau rizq (bentuk tunggal) atau arzaaq (bentuk jamak). Banyak orang salah anggapan, bahwa rezeki itu hanya ada di dalam harta. Sehingga orang yang tidak memiliki harta, tidak memiliki rezeki. Yang benar, rezeki adalah apa saja yang dimanfaatkan manusia atau orang yang mendapatkan rezeki, baik halal atau haram, bagus atau kotor [1]. Sedangkan apa-apa yang tidak bisa dimanfaatkan oleh orang sekalipun orang itu memilikinya, maka semua itu bukan rezeki miliknya, akan tetapi rezeki milik orang lain. Bahkan apa saja yang dihasilkan karena usaha seseorang, bukan lantas secara mutlak menjadi rezeki bagi orang itu saja, akan tetapi rezeki bagi dirinya, istrinya, anak-anaknya dan rezeki orang lain yang dia sendiri tidak mengetahuinya [2].
Dengan demikian, apa saja yang diberikan Allah SWT kepada Anda adalah rezeki, selama Anda bisa mengambil manfaat darinya untuk diri Anda dan dengannya Anda bisa memenuhi segala kebutuhan. Apa saja yang Anda shadaqahkan kepada makhluk Allah, kebugaran, kesehatan, keberanian, kekuatan, kekikiran, kedermawanan dan semua yang ada di dalam alam semesta ini adalah rezeki yang datang dari Allah SWT, karena jika manusia melihat apa-apa yang ada di dalam alam semesta ini, akan merasa bahwa dirinya bakal memanfaatkan seluruhnya.
Kiranya pembaca bertanya-tanya, “Bagaimana kekikiran disebut rezeki ?”. Jawabnya : Perhatikan ilustrasi berikut ini. Seorang dermawan yang menginfaqkan hartanya kepada orang lain, jika tidak ada orang kikir dari siapa dermawan itu bisa membeli harta-benda untuk diinfaqkan. Jika tidak ada orang kikir, maka dermawan itu tidak akan mendapatkan apa-apa yang ia infaqkan. Masyarakat, mendapatkan manfaat dari orang kikir, sebagaimana mereka juga mendapatkan manfaat dari seorang dermawan. Oleh sebab itu ada saja orang yang mengatakan, “Seorang kikir adalah orang yang paling mulia”. Kenapa ? Jawabnya : Karena dia memiliki dunia yang sangat banyak, namun tidak memanfaatkannya. Dia simpan seluruh dunianya. Dengan dunianya dia membeli lahan yang sangat luas, membeli kekayaan tetap, kemudian dia mati dan meninggalkan semuanya. Sehingga, seakan-akan dia menghibahkan dunianya, yang berupa semua apa yang telah ia himpun selama hidupnya. Semuanya akan berpindah dari tangan ke tangan yang lain, karena semua itu adalah perhiasan kehidupan duniawi [3] “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia” [4], tidak dibutuhkan dan tidak dicintai lagi oleh seseorang jika kematian telah menjemputnya.
PANDANGAN ISLAM KEPADA REZEKI.
Di dalam Al Qur’an dijelaskan perbedaan antara pandangan Bani Israil di zaman Nabi Musa alaihissalam dengan pandangan Islam kepada harta. Bani Israil memandang harta sebagai parameter untuk mengukur tingkat kelayakan seseorang menjadi raja. Jika seseorang memiliki harta banyak, maka dia berhak menjadi raja, dan sebaliknya. Padahal, parameter untuk mengetahui kelayakan seseorang menjadi raja adalah keluasan pengetahuan dan kekuatan fisik. Allah SWT berfirman yang artinya,
Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu". Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?". Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa". Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.(Qs. Al Baqarah (2) : 247).
Islam memiliki pandangan yang khusus terhadap rezeki atau harta. Kekhasan pandangan Islam itu karena visi duniawi dan visi ukhrawi. Menurut Islam harta sama dengan anak-anak, sebagai fitnah. Tawajjuh dan banyak beribadah kepada Allah lebih baik daripada banyak sibuk karena anak-anak, terlalu cinta kepada mereka dan menghimpun harta [5].
Islam juga memandang bahwa harta, sebagaimana halnya anak-anak, sebagai perhiasan kehidupan duniawi. Daya tariknya sangat kuat dan menjadi sangat dicintai oleh semua manusia. Mencintai harta dan anak-anak adalah tabiat manusia. Allah SWT berfirman,
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. (Qs. Al Kahfi (18) : 46).
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak…”. (Qs. Ali Imran (3) : 14).
Keindahan sesuatu tidak menunjukkan bahwa sesuatu itu haram hukumnya. Keindahan tidak selalu identik dengan hukum haram sehingga tidak boleh dimiliki. Allah SWT berfirman,
Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya, dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?". Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat". (Qs. Al A’raaf (7) : 32).
Rezeki, tidak boleh membuat orang lalai dan tidak boleh pula diabaikan.
Memiliki harta dan anak-anak, sekalipun sangat banyak jumlahnya, tidak haram asal manusia tidak lalai dan tidak terfitnah oleh harta dan anak-anaknya sampai-sampai perhatiannya hanya kepada perkara duniawi, yang pada gilirannya, dia menjadi lalai kepada Allah dan hari akhir. Sehingga dampaknya, dia lakukan apa saja, yang penting terpenuhi semua kebutuhan syahwatnya. Allah SWT berfirman,
Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. (Qs. Al Munafiqun (63) : 9).
Jika seseorang di dunia ini terfitnah oleh keindahan duniawi, dia telah berakhlak sebagaimana akhlak orang munafik [6]. Dia tidak mengingat Allah dan tidak beribadah kepada-Nya, akhirnya dia layak menderita kerugian yang hakiki. Yaitu sebuah kerugian yang diderita oleh diri sendiri dan semua keluarganya di hari kiamat [7].
KUNCI REZEKI
Semua rezeki ada di tangan Allah SWT, karena itulah Allah SWT “tempat bergantung semua makhluk” [8]. Setiap makhluk harus meminta rezeki langsung kepada Allah dengan cara-cara yang dibenarkan menurut syari’at. Tidak boleh dengan cara-cara yang merugikan orang lain, baik langsung dengan tangannya sendiri, secara cepat atau lambat, seperti : mencuri, merampok, korupsi, merampas, riba, menipu, dan lain-lain. Atau dengan perantaraan makhluk lain, baik manusia atau sejenis jin.
Rezeki duniawi harus diupayakan mendapatkannya, karena manusia pasti membutuhkannya. Sekalipun manusia mengupayakan kebahagiaan abadi di akhirat, dengan mengamalkan berbagai macam ketaatan, namun dia tidak boleh lupa akan bagiannya di dunia. Kenapa demikian ? Karena dunia yang sementara ini jembatan menuju akhirat yang kekal abadi. Tidak hanya mementingkan dunia, seperti Qarun, sehingga berakhir tragis di dunia dan sengsara tiada akhir di akhirat. Jangan pula hanya mengupayakan kebahagiaan ukhrawi, sehingga menghilangkan balancing antara kehidupan duniawi dan ukhrawi.
Rezeki harus diupayakan dengan cara-cara yang dibenarkan menurut syari’at. Pada prinsipnya harus dengan Al kasbu waraa al asbaab (mengupayakan sesuatu dengan menempuh jalan syar’i yang menjadi sebab sesuatu itu didapat). Orang ingin harta, maka dia bisa berdagang, menjual produk jasa, membuat suatu produk dan lain-lain. Orang ingin ilmu, maka dia harus belajar, bersekolah, kursus, bertanya dan lain sebagainya. Orang ingin kedudukan, maka dia harus memupuk karir dengan profesional dengan meningkatkan kapabilitas di bidangnya. Orang ingin ketenteraman, maka dia harus mengembangkan ketekunan dalam segala hal dan tawakkal kepada Allah SWT.
Singkat kata, kunci rezeki adalah ketekunan dan tawakkal dalam meniti jalan syar’i untuk mendapatkannya. Tidak menggantungkan diri kepada orang lain, dan hanya kepada Allah dia harus bergantung. Rasulullah SAW di dalam sebuah hadits Rafi’ bin Khudaij yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan lain-lain ketika beliau SAW ditanya tentang kasab (usaha) yang paling bagus bersabda,
“Hasil usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual-beli yang bersih”.
Ketika seseorang merasakan sulitnya mengembangkan harta, Rasulullah SAW mengajarkan sebuah doa sebagai jalan keluar untuk dibaca di pagi hari, yang artinya :
“Dengan nama Allah atas diriku. Dengan nama Allah atas keluarga dan hartaku. Ya Allah, jadikanlah aku ridha dengan apa-apa yang telah Engkau tetapkan untukku dan baguskanlah apa-apa yang telah Engkau bakukan. Sehingga aku tidak menyukai pensegeraan apa-apa yang Engkau akhirkan dan penundaan apa-apa yang Engkau segerakan” [9].
HAKIKAT REZEKI
Pada hakikatnya, rezeki adalah apa saja yang dimanfaatkan manusia atau orang yang mendapatkan rezeki, baik halal atau haram, bagus atau kotor [10]. Dengan demikian, arti hakikat rezeki adalah ketika sesuatu ditinjau dari kemanfaatannya, dengan tidak menghubungkannya dengan keadaan dan hukumnya. Pendeknya : Rezeki adalah sesuatu yang memiliki nilai manfaat.
Jika dikembalikan kepada Islam, maka ada ungkapan : wath thayyibaati minar rizq (rezki yang baik), sehingga benar bahwa segala apa yang mendatangkan manfaat adalah rezeki, namun yang boleh bagi orang-orang mukmin adalah rezeki yang baik lagi halal (thayyibat). Allah SWT berfirman,
Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. (Qs. Al A’raaf (7) : 32).
Dengan demikian, tidak semua rezeki boleh dimanfaatkan oleh kaum mukmin, akan tetapi yang halal lagi baik saja yang boleh untuk mereka di dunia dan di akhirat. Halal dan baik pada zatnya atau cara mendapatkannya. Sesuatu yang halal adalah halal zatnya dan halal pula cara mendapatkannya. Sesuatu yang halal menjadi haram ketika didapatkan dengan cara haram. Namun tidak sebaliknya, sesuatu yang haram, menjadi halal karena halal mendapatkannya. Dalam Islam tidak berlaku pepatah “mencari yang haram saja susah, apalagi yang halal”, sehingga menghalalkan segala cara.
MANFAAT ABADI REZEKI
Rezeki, jika hanya digunakan untuk kepentingan duniawi, maka dia tidak akan menjadi sesuatu yang memberikan manfaat yang abadi hingga masa setelah mati. Hanya kepuasan duniawi didapat, namun pahalanya tidak terus mengalir hingga si empunya telah mati. Dengan demikian, rezeki itu hanya menjadi harta sebagaimana yang disabdakan oleh nabi,
Tidaklah engkau memiliki harta melainkan apa-apa yang engkau kenakan sampai lusuh dan binasa, apa-apa yang engkau makan sampai habis dan musnah.... [11].
Rezeki harus dijadikan sesuatu yang ada di dalam kepemilikan kekal yang abadi sepanjang masa. Harus terus mengalirkan pahala kepada empunya sekalipun dia telah mati dikalang tanah. Bagaimana caranya ? Caranya : Rezeki harus dijual kepada Allah SWT dengan harga pahala dari-Nya. Semua rezeki harus dibelanjakan di jalan Allah SWT. Semua rezeki yang dikeluarkan, harus layak disebut dibelanjakan di jalan Allah SWT. Sehingga menjadi sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
….dan apa-apa yang engkau shadaqahkan sehingga engkau mengabadikannya [12].
Dengan demikian, pemilik rezeki itu mendapatkan keuntungan duniawi dan ukhrawi yang tidak pernah berhenti dari rezekinya. Rasulullah SAW selalu mengingatkan,
Jika seorang manusia mati, maka putuslah pahala amalnya kecuali dari tiga perkara : Shadaqah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya dan anak shalih yang mendoakannya [13].
Seorang muslim atau muslimah seharusnya tidak lalai mengeluarkan hartanya yang telah memenuhi syarat-syaratnya di jalan Allah, baik dalam kategori yang hukumnya sunnah, seperti : Shadaqah dan lain-lain, atau dalam kategori yang hukumnya wajib, seperti : Zakat, biaya haji, nafkah keluarga dan binatang miliknya dan lain-lain. Rasulullah SAW mendoakan orang yang membayar zakat dalam sebuah hadits yang dijelaskan oleh Imam Syafi’i,
Semoga Allah memberimu pahala karena apa-apa yang engkau berikan, menjadikan apa-apa yang engkau keluarkan sebagai pensucian dan memberkahi apa-apa yang engkau tinggalkan [14].
Semoga bermanfaat.
*****
[1] Majalah Ar-Rabithah, Mei 2007, edisi : 492, tahun : 43, Al Mafhumusy syamil lir rizqi wal kasbi fil Islam, Husni Fathullah Khathir, halaman : 65.
[2] Majalah Ar-Rabithah, Desember 2007, edisi : 499, tahun : 43, Ar-Rizqul Halal war Rizqul Haram, Husni Fathullah Khathir, halaman : 66.
[3] Majalah Ar-Rabithah, Mei 2007, edisi : 492, tahun : 43, Al Mafhumusy syamil lir rizqi wal kasbi fil Islam, Husni Fathullah Khathir, halaman : 66.
[4] QS. Al Kahf (18) : 46.
[5] Tafsir Ibnu Katsir terhadap ayat 15 surah At Taghabun di dalam Al Maktabatus Syamilah.
[6] Tafsir Al Qurthubi terhadap ayat 9 surah Al Munafiqun di dalam Al Maktabatus Syamilah.
[7] Tafsir Ibnu Katsir terhadap ayat 9 surah Al Munafiqun di dalam Al Maktabatus Syamilah.
[8] Surah Al Ikhlas, ayat : 2.
[9] Ma’rifatus shahabah, bab : Man ismuhu Bisr, karya Abu Na’im, jilid : 4, halaman : 106 dan Jaami’ul ahadits, bab : Musnadu badiilin haliifu Bani Lahm, jilid : 33, halaman : 330, dengan pencarian pada kata : فيما أبقيت di dalam Al Maktabatus syamilah.
[10] Majalah Ar-Rabithah, Mei 2007, edisi : 492, tahun : 43, Al Mafhumusy syamil lir rizqi wal kasbi fil Islam, Husni Fathullah Khathir, halaman : 65.
[11] Al Mustadrak ‘alas shahihain, karya : Al Hakim, bab : Al Haakumut takatsur hattaa zurtum, jilid : 18, halaman : 288, dengan pencarian pada kata : ما لبست di dalam Al Maktabatus syamilah.
[12] Idem footnote nomor : 11.
[13] Shahih Muslim, jilid : 8, halaman : 405, dengan pencarian pada kata : إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ di dalam Al Maktabatus syamilah.
[14] Ma’rifatus sunan wal Aatsaar, bab : Fadhlul ibilis saaimah, karya Al Baihaqi, jilid : 7, halaman : 45 dan Al Adzkaar, bab : Al Adzkaarul muta’alliqatu biz zakaat, karya : An-Nawawi, jilid :1, halaman : 187, dengan pencarian pada kata : فيما أبقيت di dalam Al Maktabatus syamilah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar