Peringatan kelahiran Nabi SAW di beberapa daerah sungguh semarak. Apa tujuannya ? Meningkatkan keimanan umat Islam ? Senang-senang ? Ekonomi dan materialisme ? Pembodohan umat Islam ? Pengembangan budaya ?
Semua pertanyaan di atas bisa diketahui jawabannya, apakah sejalan dengan Islam agtau tidak. Jjawabannya tentu harus berdasarkan Islam itu sendiri, tidak boleh berdasarkan hawa-nafsu, kesenangan, "enaknya", "baiknya" dan lain-lain. Dengan demikian maka akan terlihat Islam yang sesungguhnya, sebagaimana yang dimaksud oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. Bukan justeru muncul Islam yang kedaerahan, sehingga Islam relevan untuk satu daerah dan tidak demikian untuk daerah lain. Sehingga Islam kehilangan 'syumuliah'nya dan yang akan terjadi di antara semua orang yang mengaku muslim adalah saling menyalahkan. Muncullah perpecahan. Siapa yang untung ? Musuh-musuh Islamlah yang pasti bakal menangguk keuntungan besar. Oleh sebab itu kaum muslimin jangan menjadi musuh Islam di dalam selimut atau menimbulkan permusuhan di kalangan umat Islam.
Apalagi kalau yang berbuat demikian orang yang dianggap 'kyai' oleh masyarakat, padahal dia bukan seorang ulama. Jika demikian yang terjadi, maka masyarakat akan sangat mudah terpengaruh karena mengikuti orang yang dia anggap memiliki 'kafaah' keIslaman yang mumpuni.
'Kurang kafaah' itu masih sering terlihat, seperti masih adanya spanduk yang bertuliskan tulisan yang sesungguhnya 'lucu'. Misalnya, 'Gebyar maulud.....'. 'Maulud' menurut 'sighah'nya adalah 'ism maf'ul' yang artinya 'yang dilahirkan' atau 'bayi'. Karena demikian, maka 'gebyar maulud' adalah 'gebyar bayi', lalu apa yang terkesan dengan ungkapan yang seperti itu maknanya ? Jelas, orang yang mengerti bahasa Arab terhibur dengan munculnya rasa geli ketika membacanya.
Jadi, yang sesuai dengan yang mereka maksud apa ? Mungkin 'maulid', yang sighahnya 'ism zaman' yang artinya 'waktu kelahiran'. Jika ini yang dimaksud maka 'maulid' adalah hari ulang tahun. Pertanyaannya, budaya dari mana perayaan ulang tahun itu ? Kaum muslimin suka menirunya apakah untuk dakwah dengan menghalalkan cara seperti itu ? Bolehkah menghalalkan segala cara untuk suatu kebaikan ? Lalu Out-put dakwah dengan media seperti itu apa ? Benarkan juumlah jamaah shalat shubuh di masjid-masjid karenanya menjadi meningkat ? Atau tetap segitu saja ? Embuh.......
Pada perayaan 'maulid/maulud' lebih dominan senang-senang. Padahal bukankah pada hari yang sama, tanggal yang sama, bulan yang sama, bahkan mungkin pada jam yang sama dengan maulid/maulud itu Nabi SAW juga wafat ? Bukankah Nabi SAW dilahirkan di dunia untuk diteladani ? Lalu di sekitar kelahiran Nabi SAW apa yang harus diteladani ? Bukankan di sekitar saat beliau akan wafat justru banyak hal yang harus kaum muslimin teladani ?
Malah justeru ketika peringatan maulid / maulud dilaksanakan yang terjadi adalah perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan Al Qur'an dan As-Sunnah, pemborosan, mengikuti kaum Nabi Musa AS ketika mereka mengarak patung anak sapi yang mereka buat dari emas dan mereka sembah dipimpin oleh Samiry, jual-beli barang haram, dan mengutamakan berhutang untuk yang hal yang hanya menyenangkan.
Mari, renungkan tulisan ini. Baca pula dalil-dalil pada artikel sebelumnya dengan jernih, dengan kesadaran bahwa orang Islam itu mengikuti Al Qur'an dan As-Sunnah atau boleh meninggalkan sebagian dari keduanya. Jangan apriori karena Islam bukan untuk landasan melahirkan hal-hal yang menyenangkan secara materi atau melegalisasi sesuatu kreasi. Islam adalah 'rel' kehidupan setiap muslim. Tidak mengikuti 'rel', maka pasti akan terguling, mengikuti 'rel' sampai tujuan yang disediakan oleh Allah SWT.
Wallahu a'lam bish shawab.